Laman

Rabu, 22 Desember 2010

Perlindungan Hukum Bagi Pasien Sebagai Konsumen Jasa Pelayanan Medis

BAB I



PENDAHULUAN







A.     Latar Belakang

Dalam dunia medis yang semakin berkembang, peranan rumah sakit sangat penting dalam menunjang kesehatan dari masyarakat. Maju atau mundurnya rumah sakit akan sangat ditentukan oleh keberhasilan dari pihak-pihak yang bekerja di rumah sakit, dalam hal ini dokter, perawat dan orang-orang yang berada di tempat tersebut. Dari pihak rumah sakit diharapkan mampu memahami konsumennya secara keseluruhan agar dapat maju dan berkembang. Dalam pelayanan kesehatan, rumah sakit juga harus memperhatikan etika profesi tenaga yang bekerja di rumah sakit yang bersangkutan. Akan tetapi, tenaga profesional yang bekerja di rumah sakit dalam memberikan putusan secara profesional adalah mandiri. Putusan tersebut harus dilandaskan atas kesadaran, tanggung jawab dan moral yang tinggi sesuai dengan etika profesi masing-masing. Ditinjau dari segi ilmu kemasyarakatan dalam hal ini hubungan antara dokter dengan pasien menunjukkan bahwa dokter memiliki posisi yang dominan, sedangkan pasien hanya memiliki sikap pasif menunggu tanpa wewenang untuk melawan. Posisi demikian ini secara historis berlangsung selama bertahun-tahun, dimana dokter memegang peranan utama, baik karena pengetahuan dan keterampilan khusus yang ia miliki, maupun karena kewibawaan yang dibawa olehnya karena ia merupakan bagian kecil masyarakat yang semenjak bertahun-tahun berkedudukan sebagai pihak yang memiliki otoritas bidang dalam memberikan bantuan pengobatan berdasarkan kepercayaan penuh pasien.  Si pasien selaku konsumen, yaitu diartikan “setiap pemakai dan atau pengguna barang dan atau jasa baik kepentingan sendiri maupun kepentingan orang lain”. Dan sudah merasa bahagia apabila kepadanya dituliskan secarik kertas. Dari resep tersebut secara implisit telah menunjukkan adanya pengakuan atas otoritas bidang ilmu yang dimiliki oleh dokter yang bersangkutan. Otoritas bidang ilmu yang timbul dan kepercayaan sepenuhnya dari pasien ini disebabkan karena ketidaktahuan pasien mengenai apa yang dideritanya, dan obat apa yang diperlukan, dan disini hanya dokterlah yang tahu, ditambah lagi dengan suasana yang serba tertutup dan rahasia yang meliputi jabatan dokter tersebut yang dijamin oleh kode etik kedokteran. Kedudukan yang demikian tadi semakin bertambah kuat karena ditambah dengan faktor masih langkanya jumlah tenaga dokter, sehingga kedudukannya merupakan suatu monopoli baginya dalam memberikan pelayanan pemeliharaan kesehatan. Lebih-lebih lagi karena sifat dari pelayanan kesehatan ini merupakan psikologis pihak-pihak yang saling mengikatkan diri tidak berkedudukan sederajat. Tenaga kesehatan yang diberikan kepercayaan penuh oleh pasien, haruslah memperhatikan baik buruknya tindakan dan selalu berhati-hati di dalam melaksanakan tindakan medis. Dari tindakan medis tersebut tidak menutup kemungkinan terjadi suatu kesalahan ataupun kelalaian. Kesalahan ataupun kelalaian yang dilakukan tenaga kesehatan dalam melaksanakan tugas profesinya dapat berakibat fatal baik terhadap badan maupun jiwa dari pasiennya, dan hal ini tentu saja sangat merugikan bagi pihak pasien. Dari kesalahan ataupun kelalaian yang dilakukan tenaga kesehatan terhadap pasien, menimbulkan pertanyaan, yaitu; adakah perlindungan hukum terhadap pasien, dapatkah pasien yang dirugikan menuntut ganti rugi, dan siapa yang harus bertanggung jawab atas kerugian yang menimpa pasien.



B.     Rumusan Masalah

Di dalam penulisan makalah ini maka dapat dirumuskan masalah, antara lain:

1.  Adakah perlindungan hukum bagi pasien sebagai konsumen jasa pelayanan di bidang medis?

2.  Dapatkah pihak pasien yang dirugikan sebagai konsumen jasa pelayanan di bidang medis menuntut ganti rugi? Apa dasarnya?

3. Siapakah yang seharusanya bertanggung jawab atas kerugian pasien yang dimaksud?





C. Tujuan

1.      Mengetahui perlindungan hukum bagi pasien sebagai konsumen di bidang pelayanan di bidang medis.

2.      Mengetahui apakah dasar pasien sebagai konsumen dapat menuntut ganti rugi.

3.      Mengetahui pihak yang bertanggung jawab atas kerugian konsumen.



















































BAB II

TINJAUAN UMUM TENTANG PASIEN SEBAGAI KONSUMEN JASA PELAYANAN DI BIDANG MEDIS



A.     Pengertian Pasien Sebagai Konsumen Jasa Pelayanan Di Bidang Medis

Dalam pelayanan di bidang medis, tidak terpisah akan adanya seorang tenaga kesehatan dengan konsumen, dalam hal ini pasien. Pasien dikenal sebagai penerima jasa pelayanan kesehatan dan dari pihak rumah sakit sebagai pemberi jasa pelayanan kesehatan dalam bidang perawatan kesehatan.
Sebelumnya perlu juga untuk diketahui akan pengertian dari pasien itu sendiri. Menurut DR. Wila Chandrawila Supriadi, S.H, dalam bukunya, “Hukum Kedokteran” bahwa Pasien adalah orang sakit yang membutuhkan bantuan dokter untuk menyembuhkan penyakit yang dideritanya, dan pasien diartikan juga adalah orang sakit yang awam mengenai penyakitnya. Dari sudut pandangan sosiologis dapat dikatakan bahwa pasien maupun tenaga kesehatan memainkan peranan- peranan tertentu dalam masyarakat. Dalam hubungannya dengan tenaga kesehatan, misalnya dokter, tenaga kesehatan mempunyai posisi yang dominan apabila dibandingkan dengan kedudukan pasien yang awam dalam bidang kesehatan. Pasien dalam hal ini, dituntut untuk mengikuti nasehat dari tenaga kesehatan, yang mana lebih mengetahui akan bidang pengetahuan tersebut. Dengan demikian pasien senantiasa harus percaya pada kemampuan dokter tempat dia menyerahkan nasibnya. Pasien sebagai konsumen dalam hal ini, merasa dirinya bergantung dan aman apabila tenaga kesehatan berusaha untuk menyembuhkan penyakitnya. Keadaan demikian pada umumnya di dasarkan atas kerahasiaan profesi kedokteran dan keawaman masyarakat yang menjadi pasien. Situasi tersebut berakar pada dasar-dasar historis dan kepercayaan yang sudah melembaga dan membudaya di dalam masyarakat. Hingga kini pun kedudukan dan peranan dokter relatif lebih tinggi dan terhormat. Pasien sebagai konsumen jasa di bidang pelayanan medis, dengan melihat perkembangan ilmu dan teknologi kesehatan yang pesat, resiko yang dihadapi semakin tinggi. Oleh karena itu, dalam hubungan antara tenaga kesehatan dengan pasien, misalnya terdapat kesederajatan. Di samping dokter, maka pasien juga memerlukan perlindungan hukum yang proporsional yang diatur dalam perundang-undangan. Perlindungan tersebut terutama diarahkan kepada kemungkinan-kemungkinan bahwa dokter melakukan kekeliruan karena kelalaian.

Pengertian Konsumen dalam UU No.8 / 1999 tentang Perlindungan Konsumen, yaitu setiap orang pemakai barang dan atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup lain dan tidak  untuk diperdagangkan. Pengertian konsumen ini adalah konsumen akhir.

·        Produk yang berupa barang, mis : obat-obatan, suplemen makanan, alat kesehatan

·        Produk yang berupa jasa, mis : jasa pelayanan kesehatan yang diberikan oleh dokter, dokter gigi, jasa asuransi kesehatan.

B.     Pengertian Tenaga Medis/Kesehatan

Yang dimaksud dengan Tenaga Kesehatan menurut Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 32 / 1996 Tentang Tenaga Kesehatan Pasal 1 (1) adalah “ setiap orang yang mengabdikan diri dalam bidang kesehatan serta memiliki pengetahuan dan / atau keterampilan melalui pendidikan di bidang kesehatan yang untuk jenis tertentu memerlukan untuk melakukan upaya kesehatan. Menurut Undang-Undang No;23 / 1992 Tentang Kesehatan , Pasal 1 (3) yang dimaksud Tenaga kesehatan adalah “ setiap orang yang mengabdikan diri dalam bidang kesehatan serta memiliki pengetahuan dan atau keterampilan melalui pendidikan di bidang kesehatan yang untuk jenis tertentu memerlukan kewenangan untuk melakukan upaya kesehatan.

Dari pengertian Tenaga Kesehatan diatas perlu untuk diketahui kategori dari tenaga kesehatan itu sendiri. Menurut Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 262 / Men. Kes / Per / VII / 1979 Tentang ketenagaan rumah sakit pemerintahan, ada empat kategori yang dikenal, diantaranya:

1.      Tenaga Medis, yakni lulusan fakultas kedokteran atau kedokteran gigi dan pasca sarjana yang memberikan pelayanan medis dan pelayanan penunjang medis. Kategori ini mencakup:

a. dokter ahli
b. dokter umum
c.  dokter gigi, dan lain-lain

2.      Tenaga Paramedis Perawatan, yaitu lulusan sekolah atau akademi perawat kesehatan yang memberikan pelayanan perawatan paripurna, yakni :

a. penata rawat
b. perawat kesehatan
c. bidan
d. perawat khusus, dan lain-lain

3.      Tenaga Paramedis Non Perawatan, yaitu lulusan sekolah atau akademi bidang kesehatan lainnya yang memberikan pelayanan penunjang, yakni;
analisis

a. penata rontgen
b. sarjana muda fisioterapi
c. sarjana muda gizi
d. asisten analisis
e. asisten apoteker
f. pengatur rawat roentgen
g. pengatur rawat gigi
h. pengatur teknik gigi
i. pengatur rawat gigi
j. tenaga sanitasi
k. penata anastesi, dan lain-lain

4.      Tenaga Nonmedis, yakni seorang yang mendapat pendidikan ilmu pengetahuan yang tidak termasuk pendidikan pada butir 1, 2, dan 3 di atas, yaitu:

a. sarjana administrasi perumah sakitan
b. sarjana muda pencatatan medis
c. apoteker
d. sarjana kimia
e. sarjana kesehatan masyarakat
f. sarjana biologi
g. sarjana fisika medis
h. sarjana jiwa
i. sarjana ekonomi
j. sarjana hukum
k. sarjana teknik
l.s arjana akuntansi
m. sarjana ilmu sosial
n. sarjana muda teknik elektro medis
o. sarjana muda teknik sipil
p. sarjana muda fisika kesehatan
q. sarjana muda statistic
r. lulusan STM
s. pekerja sosial medis
t. lulusan SD, SLTP, SLTP.

Rincian tenaga kesehatan seperti yang tertuang di atas sangat penting terutama untuk menentukan tanggung jawab professional dan tanggung jawab hukumnya.

BAB III

PEMBAHASAN


A.  Hak dan Kewajiban Pasien sebagai Konsumen

Pada hakekatnya, terdapat dua instrumen hukum penting yang menjadi landasan kebijakan perlindungan konsumen di Indonesia, yakni: Pertama, Undang - Undang Dasar 1945, sebagai sumber dari segala sumber hukum di Indonesia, mengamanatkan bahwa pembangunan nasional bertujuan untuk mewujudkan masyarakat adil dan makmur. Tujuan pembangunan nasional diwujudkan melalui sistem pembangunan ekonomi yang demokratis sehingga mampu menumbuhkan dan mengembangkan dunia yang memproduksi barang dan jasa yang layak dikonsumsi oleh masyarakat. Kedua, Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UUPK). Lahirnya Undang-undang ini memberikan harapan bagi masyarakat Indonesia, untuk memperoleh perlindungan atas kerugian yang diderita atas transaksi suatu barang dan jasa. UUPK menjamin adanya kepastian hukum bagi konsumen.

Sesuai dengan pasal 3 Undang-undang Perlindungan Konsumen, tujuan dari Perlindungan Konsumen adalah:

1.      Meningkatkan kesadaran, kemampuan dan kemandirian konsumen untuk melindungi diri,

2.      Mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan cara menghindarkannya dari ekses negatif pemakaian barang dan/atau jasa,

3.      Meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam memilih, menentukan dan menuntut hak-haknya sebagai konsumen,

4.      Menciptakan sistem perlindungan konsumen yang mengandung unsur kepastian hukum dan keterbukaan informasi serta akses untuk mendapatkan informasi,

5.      Menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya perlindungan konsumen sehingga tumbuh sikap yang jujur dan bertanggungjawab dalam berusaha,

6.      Meningkatkan kualitas barang dan/atau jasa yang menjamin kelangsungan usaha produksi barang dan/atau jasa, kesehatan, kenyamanan, keamanan dan keselamatan konsumen.

Pada dasarnya Undang-undang Perlindungan Konsumen memiliki Azas Perlindungan Konsumen, yaitu :

1.      Asas Manfaat; mengamanatkan bahwa segala upaya dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen harus memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi kepentingan konsumen dan pelaku usaha secara keseluruhan,

2.      Asas Keadilan; partisipasi seluruh rakyat dapat diwujudkan secara maksimal dan memberikan kesempatan kepada konsumen dan pelaku usaha untuk memperoleh haknya dan melaksanakan kewajibannya secara adil,

3.      Asas Keseimbangan; memberikan keseimbangan antara kepentingan konsumen, pelaku usaha, dan pemerintah dalam arti materiil ataupun spiritual,

4.      Asas Keamanan dan Keselamatan Konsumen; memberikan jaminan atas keamanan dan keselamatan kepada konsumen dalam penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang dikonsumsi atau digunakan;

5.      Asas Kepastian Hukum; baik pelaku usaha maupun konsumen mentaati hukum dan memperoleh keadilan dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen, serta negara menjamin kepastian hukum.

Mengenai hak-hak konsumen diatur dalam Undang – Undang Perlindungan Konsumen , pasal 4 menyebutkan , diantaranya:

a.       hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkomsumsi barang dan / atau jasa;

b.      hak untuk memilih barang dan / atau jasa serta mendapatkan barang dan / atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan;

c.       hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan / atau jasa;

d.      hak untuk di dengar pendapat dan keluhannya atas barang dan / atau jasa yang digunakan;

e.       hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut;

f.        hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen;

g.       hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi, dan / atau penggantian, apabila barang dan / atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya;

h.       hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.

Hak konsumen kesehatan berdsarkan UU NO.8 / 1999 tentang kesehatan adalah :

ü      Informasi

ü      Memberikan persetujuan

ü      Rahasia kedokteran

ü      Pendapat kedua (second opinion)

Kewajiban konsumen, yaitu:

·        Membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur

·        Beritikad baik

·        Membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati

·        Mengikuti upaya penyelesaian hukun sengketa perlindungan konsumen secara patut.

Dari sembilan butir hak konsumen yang diatas, terlihat bahwa masalah kenyamanan, keamanan, dan keselamatan konsumen merupakan hal yang paling pokok dan utama dalam perlindungann konsumen. Barang dan / atau jasa yang penggunaannya tidak memberikan kenyamanan, terlebih lagi yang tidak aman atau membahayakan keselamatan konsumen jelas tidak layak untuk diedarkan dalam masyarakat. Selanjutnya, untuk menjamin bahwa suatu barang dan / atau jasa dalam penggunaannya akan nyaman, aman maupun tidak membahayakan konsumen penggunanya, maka konsumen diberikan hak untuk memilih barang dan /jasa yang dikehendakinya berdasarkan atas keterbukaan informasi yang benar, jelas, dan jujur. Jika terdapat penyimpangan yang merugikan, konsumen berhak untuk didengar, memperoleh advokasi, pembinaan, perlakuan yang adil, konpensasi sampai ganti rugi.

B.     Hak dan kewajiban tenaga kesehatan berdasarkan UU NO. 23 /1992 tentang kesehatan

-  KEWAJIBAN

Mematuhi standar profesi dan menghormati hak pasien

- HAK

Memperoleh perlindungan hukum dalam melaksanakan tugas sesuai dengan

Profesinya

- HUBUNGAN HUKUM ANTARA PASIEN DAN RUMAH SAKIT

1. Perjanjian perawatan, yaitu kesepakatan antara RS dan pasien bahwa pihak RS menyediakan kamar perawatan dan adanya tenaga perawatyang akan melakukan tindakan perawatan

2. Perjanjian pelayanan medis, yaitu kesepakatan antara RS dan pasien bahwa tenaga medis pada RS akan berupaya secara maksimal untuk menyembuhkan pasien melalui tindakan medis (inspanningsverbintenis).







- HUBUNGAN HUKUM ANTARA PASIEN DAN TENAGA KESEHATAN DI RUMAH SAKIT

- HUBUNGAN HUKUM PASIEN - DOKTER

Merupakan perikatan / kontrak terapeutik, yaitu pihak dokter berupaya secara maksimal menyembuhkan pasien (inspanningsverbintenis), jarang merupakan resultaats verbintenis.

- HUBUNGAN HUKUM PASIEN - TENAGA KESEHATAN LAIN (ANTARA LAIN PERAWAT)

Merupakan perikatan / kontrak, yaitu tenaga kesehatan lain itu harus berupaya memberikan pelayanan sesuai dengan kemampuan dan perangkat ilmu yang dimiliki. Kontrak ini dapat berupa inspanningsverbintenis maupun resultaats verbintenis.

- HUBUNGAN HUKUM DOKTER - PERAWAT

Merupakan hubungan rujukan atau delegasi

C.  Perlindungan Hukum Bagi Pasien Sebagai Konsumen Pelayanan Jasa Pelayanan Di Bidang Medis

Mengenai perlindungan hukum terhadap pasien sebagai konsumen di bidang medis sudah ada ketentuan yang mengatur. Pada dasarnya ketentuan yang mengatur perlindungan hukum bagi konsumen dapat dijumpai pasal 1365 KUH Perdata yang berisikan ketentuan antara lain sebagai berikut: “Tiap perbuatan melawan hukum, yang membawa kerugian kepada seorang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian tersebut”.
Di dalam UU RI No. 23 / 1992 tentang kesehatan disebutkan juga perlindungan terhadap pasien, yaitu pasal 55 yang berisikan ketentuan antara lain sebagai berikut :

1.      Setiap orang berhak atas ganti rugi akibat kesalahan atau kelalaian yang dilakukan tenaga kesehatan,

2.      Ganti rugi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Pemberian hak atas ganti rugi merupakan suatu upaya untuk memberikan perlindungan bagi setiap orang atas suatu akibat yang timbul, baik fisik maupun non fisik karena kesalahan atau kelalaian tenaga kesehatan. Perlindungan ini sangat penting karena akibat kelalaian atau kesalahan itu mungkin dapat menyebabkan kematian atau menimbulkan cacat yang permanen.
Yang dimaksud dengan kerugian fisik adalah hilangnya atau tidak berfungsinya seluruh atau sebagian organ tubuh, sedangkan kerugian non fisik berkaitan dengan martabat seseorang. Jika seseorang merasa dirugikan oleh warga masyarakat lain, tentu ia akan menggugat pihak lain itu agar bertanggung jawab secara hukum atas perbuatannya. Dalam hal ini diantara mereka mungkin saja sudah terdapat hubungan hukum berupa perjanjian di lapangan hukum keperdataan, tetapi dapat pula sebaliknya, sama sekali tidak ada hubungan hukum demikian.
Jika seseorang sebagai konsumen melakukan hubungan hukum dengan pihak lain, dan pihak lain itu melanggar perjanjian yang disepakati bersama, maka konsumen berhak menggugat lawannya berdasarkan dalih melakukan wanprestasi (cedera janji). Apabila sebelumnya tidak ada perjanjian, konsumen tetap saja memiliki hak untuk menuntut secara perdata, yakni melalui ketentuan perbuatan melawan hukum.

Dari ketentuan tersebut diberikan kesempatan untuk menggugat sepanjang terpenuhi empat unsur, yaitu terjadi perbuatan melawan hukum, ada kesalahan (yang dilakukan pihak lain atau tergugat), ada kerugian (yang diderita si penggugat) dan ada hubungan kausal antara kesalahan dengan kerugian itu.
Apabila terdapat kesalahan / kelalaian dari tindakan medik yang dilakukan oleh tenaga medis ( dokter, perawat atau asisten lainnya ), dalam hal ini dari pihak konsumen yang menderita kerugian dapat menuntut ganti rugi.
Dari kerugian yang di alami oleh konsumen, dalam hal ini mungkin tidak sedikit atau bisa juga dari kerugian tersebut berakibat kurang baik bagi konsumen. Seseorang dapat dimintakan tanggung jawab hukumnya (liable), kalau dia melakukan kelalaian / kesalahan dan kesalahan / kelalaian itu menimbulkan kerugian. Orang yang menderita kerugian akibat kelalaian / kesalahan orang itu, berhak untuk menggugat ganti rugi. Begitu pula terhadap kerugian yang dialami pasien dalam pelayanan medis, pasien dalam hal ini dapat menuntut ganti rugi atas kesalahan ataupun kelalaian dokter ataupun tenaga medis lainnya.

D. Dasar Penuntutan Ganti Rugi Terhadap Pasien Sebagai Konsumen Jasa Pelayanan Jasa Di Bidang Medis

Mengenai tuntutan ganti kerugian secara perdata menurut pasal 1365 KUH Perdata, pelaku harus mengganti kerugian sepenuhnya. Akan tetapi terdapat juga suatu ketentuan hukum yang menentukan bahwa apabila kerugian ditimbulkan karena kesalahan sendiri, ia harus menanggung kerugian tersebut. Dari rumusan tersebut dapat disimpulkan bahwa pihak yang dirugikan cukup membuktikan bahwa kerugian yang diderita adalah akibat perbuatan pelaku. Dasar tuntutan dari pihak pasien (konsumen) dapat dilihat dalam UU No. 23 Tahun 1992 tentang kesehatan yaitu pasal 55. Dari ketentuan pasal tesebut maka dari pihak paramedis diharuskan berhati hati di dalam melakukan tindakan medis yang mana dari pihak pasien mempercayakan sepenuhnya akan tindakan tersebut.

Dalam konsep dan teori dalam ilmu hukum, perbuatan yang merugikan tersebut dapat lahir karena :

1.      Tidak ditepatinya suatu perjanjian atau kesepakatan yang telah dibuat (yang pada umumnya dikenal dengan istilah wan-prestasi) ; atau

2.      Semata-mata lahir karena suatu perbuatan tersebut (atau yang dikenal dengan perbuatan melawan hukum.

Dalam perlindungan terhadap pasien sebagai konsumen jasa yang mana merasa dirugikan oleh dokter ataupun pihak rumah sakit, dan tindakan tersebut menimbulkan suatu kerugian yang tidak sedikit ataupun dari tindakan tersebut menimbulkan kematian, maka dalam hal ini si pelanggar hukum masih tetap berwajib memberi ganti rugi

E.  Pihak Yang Bertanggung Jawab Atas Kerugian Terhadap Pasien Sebagai Konsumen Pelayanan Jasa Di Bidang Medis.

Kasus hukum dalam pelayanan medis umumnya terjadi di rumah sakit dimana tenaga kesehatan bekerja. Rumah sakit merupakan suatu yang pada pokoknya dapat dikelompokkan menjadi :

·        pelayanan medis dalam arti luas yang menyangkut kegiatan promotif, preventif, kuratif ,dan rehabilitatif

·        pendidikan dan latihan tenaga medis

·        penelitian dan pengembangan ilmu kedokteran.

Pertanggung jawaban hukum rumah sakit, dalam hal ini badan hukum yang memilikinya bisa dituntut atas kerugian yang terjadi, bisa secara :

1.      langsung sebagai pihak, pada suatu perjanjian bila ada wanprestasi, atau

2.      tidak langsung sebagai majikan bila karyawannya dalam pengertian peraturan perundang-undangan melakukan perbuatan melanggar hukum.

Wujud ganti kerugian tersebut bertujuan untuk memperbaiki keadaan, dan dari pengganti kerugian kebanyakan besar berupa sejumlah uang. Pengganti kerugian tersebut harus dinilai menurut kemampuan maupun kedudukan dari kedua belah pihak dan harus pula disesuaikan dengan keadaan. Ketentuan yang paling akhir ini pada umumnya berlaku dalam hal memberikan ganti kerugian yang diterbitkan dari suatu perbuatan melawan hukum terhadap pribadi seseorang. Dalam hal pertanggung jawaban atas pelayanan medis, yang mana pihak pasien merasa dirugikan maka perlu untuk diketahui siapa yang terkait di dalam tenaga medis tersebut. Tenaga Medis yang dimaksud adalah dokter, yang bekerjasama dengan tenaga profesional lain di dalam menyelenggarakan dan memberikan pelayanan medis kepada masyarakat atau pasien. Disamping perawat, tenaga profesional lain dalam bidang kesehatan dan medis, seperti ahli laboratorium dan radiologi, pendidik dan penyuluh kesehatan, penata berbagai peralatan dan perlengkapan medis, terutama dalam lembaga pelayanan seperti rumah sakit, klinik spesialis, dan praktek bersama , sangat diperlukan sebagai pendamping dokter. Dokter juga memerlukan pembantu dalam bidang adminisrtrasi, asuransi, akuntansi, hukum dan kemasyarakatan. Lembaga yang tampak kompleks, meskipun terorganisasi rapi ini disebut “birokrasi pelayanan medis”. Jika dalam tindakan medis terjadi kesalahan dan mengakibatkan kerugian dari pihak pasien, maka tanggung jawab tidak langsung kepada pihak rumah sakit. Mengenai tanggung jawab terlebih dahulu harus melihat apakah kesalahan tersebut dilakukan oleh dokter itu sendiri atau tenaga medis lain. Setiap masalah yang terjadi baik sengaja ataupun tidak sengaja perlu diteliti terlebih dahulu. Jika kesalahan yang dilakukan oleh para medis tersebut khusus dokter yang melakukan, biasanya pihak rumah sakit yang bertanggung jawab secara umumnya. Dan dokter sebagai pelaksana tindakan juga dapat dikenakan sanksi.

Terhadap tenaga kesehatan khususnya yang bekerja di rumah sakit, ada dua tenaga yaitu : tenaga dari PNS (Pegawai Negeri Sipil) dan Swasta. Di dalam melaksanakan tugas profesinya, baik tenaga dari PNS ataupun Swasta mempunyai perbedaan dalam tanggung jawab. Terhadap tenaga kesehatan (dokter) dari PNS yang melakukan kesalahan / kelalaian dalam tindakan medis, biasanya dokter tersebut diberikan sanksi berupa pemindahan kerja ke instansi kesehatan lain atau pemberhentian sementara. Sedangkan terhadap dokter yang swasta, dalam hal melakukan kesalahan / kelalaian biasanya sanksi yang dijatuhkan berupa diberhentikan oleh rumah sakit tempat ia bekerja. Dan akibat dari kesalahan dokter atau paramedis lain yang menyebabkan kerugian terhadap pasien akan menjadi beban bagi pihak rumah sakit. Pemberian sanksi juga diatur dalam ketentuan Pasal 54 (1) UU No.23/ 1992 Tentang kesehatan yaitu “ terhadap tenaga kesehatan yang melakukan kesalahan atau kelalaian dalam melaksanakan profesinya dapat dikenakan tindakan disiplin”. Mengenai tanggung jawab diatur dalam pasal 1367 KUH Perdata sebagai penjabaran lebih lanjut mengenai siapa dan apa saja yang berada di bawah tanggung jawabnya. Masalah tanggung jawab hukum perdata ini membawa akibat bahwa yang bersalah (yaitu yang menimbulkan kerugian kepada pihak lain) harus membayar ganti rugi.
Tanggung Jawab dilihat dari segi hukum perdata mengandung beberapa aspek, yaitu dapat ditimbulkan karena “wanprestasi”, karena perbuatan melanggar hukum, dapat juga karena karena kurang hati-hatinya mengakibatkan matinya orang dan juga karena kurang hati-hatinya menyebabkan cacat badan. Akibat perbuatan yang mengakibatkan kerugian tersebut terbawa oleh karena sifat daripada perjanjian yang terjadi antara dokter dengan pasien merupakan suatu perjanjian yang disebut “inspannings verbintenis”. Suatu perjanjian yang harus dilaksanakan dengan teliti dan penuh hati-hati (inspanning)12 Dan hubungan dokter dengan pasien ada juga dengan perikatan hasil, atau yang dikenal dengan “resultaat verbintenis “.

Sehingga berdasarkan hal-hal yang telah disebutkan di depan,maka perlu kiranya kepentingan pasien juga diperhatikan dengan mengadakan perlindungan terhadap korban yang menderita kerugian dari kesalahan tenaga medis dengan mempercepat proses untuk mendapatkan ganti rugi.





























BAB VI


PENUTUP



A. Kesimpulan

Berdasarkan atas apa yang telah diuraikan dalam bab – bab tersebut di atas, maka dapat diambil suatu kesimpulan sebagai berikut :

1.      Bahwa perlindungan hukum terhadap pasien ada, hal ini diatur di dalam UU No. 23/ 1992 Tentang Kesehatan, Peraturan Pemerintah RI No. 32 / 1996 Tentang Tenaga Kesehatan dan KUH Perdata.

2.      Pihak pasien, dapat menuntut ganti rugi terhadap kesalahan / kelalaian tenaga medis, yang didasarkan ketentuan Pasal 1365-1366 KUH Perdata, Pasal 55 dari UU No. 23 / 1992 Tentang Kesehatan dan Pasal 23 dari PP RI No. 32 / 1996 Tentang Tenaga Kesehatan.

3.      Mengenai siapa yang harus bertanggung jawab terhadap kerugian pasien yaitu rumah sakit tidak selalu bertanggung jawab jika terjadi kesalahan dari tenaga kesehatan di Rumah Sakit bersangkutan, karena dari tenaga kesehatan sendiri ada yang langsung bertangung jawab atas kerugian yang dialami pasien.

B. Saran

Hendaknya perlindungan hukum terhadap pasien maupun perlindungan dan tanggung jawab tenaga kesehatan haruslah diatur dalam undang – undang tersendiri. Pengaturan khusus ini diperlukan baik untuk kepentingan pasien itu sendiri dan tenaga kesehatan. Dari pihak pasien sendiri jika merasa tidak puas terhadap tindakan tenaga kesehatan, janganlah mengambil kesimpulan dan mengganggap kesalahan selalu berada pada pihak tenaga kesehatan.

DAFTAR PUSTAKA