Laman

Selasa, 08 Januari 2013

ASUHAN KEPERAWATAN ANAK DENGANATRESIA ANI (ANUS IMPERFORATA)

A. Definisi

    

Atresia Ani berasal dari dari bahasa Yunani, artinya tidak ada, atresia artinya nutrisi atau makanan. Dalam istilah kedokteran atresia itu sendiri adalah keadaan tidak adanya atau tertutupnya lubang badan normal atau organ tubuler secara kongenital disebut juga clausura. Dengan kata lain tidak adanya lubang di tempat yang seharusnya atau buntutnya saluran atau rongga tubuh. Hal ini bisa terjadi karena bawaan sejak lahir atau terjadi kemudian karena proses penyakit yang mengenai saluran itu. Atresia ani yaitu tidak berlubangnya dubur. Atresia ani memiliki nama lain yaitu Anus Imperforate atau Malformasi Anorektal.

Menurut Ladd dan Gross (1966) anus imperforate dibagi 4 golongan, yaitu :

  1. Stenosis rectum yang lebih rendah atau pada anus.
  2. Membran anus yang menutup.
    1. Anus imperforate dan ujung rectum yang buntu terletak pada bermacam-macam jarak dari peritoneum.
    2. Lubang anus yang terpisah dengan ujung rectum.


 

Atresia Anus dapat dikelompokkan menjadi beberapa tipe:

  1. Saluran anus atau rektum bagian bawah mengalami stenosis dalam berbagai derajat.
  2. Terdapatnya suatu membran tipis yang menutupi anus karena menetapnya membran anus.
  3. Anus tidak terbentuk dan rektum berakhir sebagai suatu suatu kantung yang buntu terletak pada jarak tertentu dari kulit di daerah anus yang seharusnya terbentuk lekukan anus).
  4. Saluran anus dan rektum bagian bawah membentuk suatu kantung buntu yang terpisah,pada jarak tertentu dari ujung rektum yang berakhir sebagai kantung buntu..
  5. Kelainan yang berdasarkan hubungan antara bagian terbawah rektum yang normal dengan otot puborektalis yangmemiliki fungsi sangat penting dalam proses defekasi,dikenal sebagai klasifikasi melboume.
  6. Kelainan letak rendah Rektum telah menembus "lebator sling" sehingga sfingter ani internal dalam keadaan utuh dan dapat berfungsi normal contohnya berupa stenosis anus (tertutupnya anus oleh suatu membran tipis yang seringkali disertai fistula anokutaneus dan anus ektopikyang selalu terletak dianterior lokasi anus yang normal).
  7. Rektum berupa kelainan letak tengah Di daerah anus seharusnya terbentuk secara lazim terdapat lekukan anus (anal dimple) yang cukup dalam. Namun,pada kelainan yang jarang ditemukan ini sering terdapat fistula rektouretra yang menghubungkan rektum yang buntu dengan uretra pars bulbaris.
  8. Kelainan letak tinggi. Kelainan ini lebih banyak ditemukan pada bayi laki-laki, sebaliknya kelinan letak redah sering ditemukan pada bayi perempuan. Pada perempuan dapat ditemukan fistula -and kutaneus, fistula rektoperinium dan fistula rektovagina. Sedangkan pada laki-laki dapat ditemukan dua bentuk fistula yaitu fistula ektourinaria dan fistula rektoperineum. Fistula ini menghubungkan rektum dengan kandung kemih pada daerah trigonum vesika. Fistula tidak dapat dilalui jika mekonoium jika brukuran sangat kecil, sedangkan fistula dapat mengeluarkan mekonium dalam rektum yang buntu jika berukuran cukup besar. Oleh karena itu, dapat terjadi kelainan bentuk anorektum disertai fistula
  9. Kelainan bawaan anus juga dapat disebabkan gangguan pertumbuhan dan fusi.
  10. Gangguan pemisahan kloaka menjadi rektum dan sinus urogenital


B. Etiologi
Atresia dapat disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain:

  • Putusnya saluran pencernaan dari atas dengan daerah dubur sehingga bayi lahir lubang dubur.
  • Kegagalan pertumbuhan saat bayi dalam kandungan berusia 12 minggu/3 bulan
  • Adanya gangguan atau berhentinya perkembangan embriologik didaerah usus, rektum bagian distal serta traktus urogenitalis, yang terjadi antara minggu ke empat sampai keenam usia kehamilan.


 

C. Patofisiologi
Atresia ani atau anus imperforate dapat disebabkan karena :

  1. Kelainan ini terjadi karena kegagalan pembentukan septum urorektal secara komplit karena gangguan pertumbuhan, fusi atau pembentukan anus dari tonjolan embrionik.
  2. Putusnya saluran pencernaan dari atas dengan daerah dubur, sehingga bayi lahir tanpa lubang dubur.
  3. Gangguan organogenesis dalam kandungan penyebab atresia ani, karena ada kegagalan pertumbuhan saat bayi dalam kandungan berusia 12 minggu atau tiga bulan.
  4. Berkaitan dengan sindrom down.
  5. Atresia anus adalah suatu kelainan bawaan.


 

Terdapat tiga macam letak

  • Tinggi (supralevator) → rektum berakhir di atas M.Levator ani (m.puborektalis) dengan jarak antara ujung buntu rectum dengan kulit perineum >1 cm. letak supralevator biasanya disertai dengan fistel ke saluran kencing atau saluran genital.
  • Intermediate → rectum terletak pada m.levator ani tapi tidak menembusnya.
  • Rendah → rectum berakhir di bawah m.levator ani sehingga jarak antara kulit dan ujung rectum paling jauh 1 cm. Pada wanita 90% dengan fistula ke vagina/perineum, pada laki-laki umumnya letak tinggi, bila ada fistula ke traktus urinarius


 

D. Tanda dan gejala

  • Mekonium tidak keluar dalam waktu 24-48 jam setelah lahir.
  • Tinja keluar dari vagina atau uretra.
  • Perut menggembung.
  • Muntah.
  • Tidak bisa buang air besar.
  • Tidak adanya anus, dengan ada/tidak adanya fistula.
  • Pada atresia ani letak rendah mengakibatkan distensi perut, muntah, gangguan cairan elektrolit dan asam basa.


 

E. Pemeriksaan Diagnostik/Penunjang

Anamnesis perjalanan penyakit yang khas dan gambaran klinis perut membuncit seluruhnya merupakan kunci diagnosis pemeriksaan penunjang yang dapat membantu menegakkan diagnosis ialah pemeriksaan radiologik dengan enema barium. disini akan terlihat gambaran klasik seperti daerah transisi dari lumen sempit kedaerah yang melebar. pada foto 24 jam kemudian terlihat retensi barium dan gambaran makrokolon pada hirschsprung segmen panjang. Pemeriksaan biopsi hisap rektum dapat digunakan untuk mencari tanda histologik yang khas yaitu tidak adanya sel ganglion parasimpatik dilapisan muskularis mukosa dan adanya serabut syaraf yang menebal pada pemeriksaan histokimia, aktifitas kolinaterase meningkat.

Atresia ani biasanya jelas sehingga diagnosis sering dapat ditegakkan segera setelah bayi lahir dengan melakukan inspeksi secara tepat dan cermat pada daerah perineum. Diagnosis kelainan anurektum tipe pertama dan keempat dapat terlewatkan sampai diketahui bayi mengalami distensi perut dan tidak mengalami kesulitan mengeluarkan mekonium.

Pada bayi dengan kelainan tipe satu/kelainan letak rendah baik berupa stenosis atau anus ektopik sering mengalami kesulitan mengeluarkan mekonium. Pada stenosis yang ringan, bayi sering tidak menunjukkan keluhan apapun selama beberapa bulan setelah lahir. Megakolon sekunder dapat terbentuk akibat adanya obstruksi kronik saluran cerna bagian bawah daerah stenosis yang sering bertambah berat akibat mengerasnya tinja. Bayi dengan kelainan tipe kedua yang tidak disertai fistula/fistula terlalu kecil untuk dilalui mekonium sering akan mengalami obstruksi usus dalam 48 jam stelah lahir. Didaerah anus seharusnya terentukpenonjolan membran tipis yang tampak lebih gelap dari kulit disekitarnya, karena mekonium terletak dibalik membran tersebut. Kelainan letak tinggi atau agenesis rectum seharusnya terdapat suatu lekukan yang berbatas tegas dan memiliki pigmen yang lebih banyak daripada kulit disekitarnya sehingga pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan lubang fistulla pada dinding posterior vagina/perinium, atau tanda-tanda adanya fistula rektourinaria. Fistula rektourinaria biasanya ditandaioleh keluarnya mekonium serta keluarnya udara dari uretra. Diagnosis keempat dapat terlewatkan sampai beberpa hari karena bayi tampak memiliki anus yang normal namun salurran anus pendek dan berakhir buntu. Manifestasi obstruksi usus terjadi segera setelah bayi lahir karena bayi tidak dapat mengeluarkan mekonium. Diagnosis biasanya dapat dibuat dengan pemeriksaan colok dubur.


F. Komplikasi

Semua pasien yang mempunyai informasi anorektal dengan kortmobiditas yang tidak jelas mengancam hidup akan bertahan. Pada lesi letak tinggi, banyak anak mempunyai masalah pengontrolan fungsi usus dan juga paling banyak menjadi konstipasi. Pada lesi letak rendah anak pada umumnya mempunyai control usus yang baik, tetpai masih dapat menjadi konstipasi. Komplikasi operasi yang buruk berkesempatan menjadi kontinensia primer, walaupun akibat ini sulut diukur. Reoperasi penting untuk mengurangi terjadionya kontinensia.

G. Penatalaksanaan dan Pengobatan
Penanganan secara preventif antara lain:

  1. Kepada ibu hamil hingga kandungan menginjak usia tiga bulan untuk berhati-hati terhadap obat-obatan, makanan awetan dan alkohol yang dapat menyebabkan atresia ani.
  2. Mmeriksa lubang dubur bayi saat baru lahir karena jiwanya terancam jika sampai tiga hari tidak diketahui mengidap atresia ani karena hal ini dapat berdampak feses atau tinja akan tertimbun hingga mendesak paru-parunya.
  3. Pengaturan diet yang baik dan pemberian laktulosa untuk menghindari konstipasi.
    Rehabilitasi dan Pengobatan.
  4. melakukan pemeriksaan colok dubur
  5. melakukan pemeriksaan radiologik pemeriksaan foto rontgen bermanfaat dalam usaha menentukan letak ujung rectum yang buntu setelah berumur 24 jam, bayi harus diletakkan dalam keadaan posisi terbalik sellama tiga menit, sendi panggul dalam keadaan sedikit ekstensi lalu dibuat foto pandangan anteroposterior dan lateral setelah petanda diletakkan pada daerah lakukan anus.
  6. Melakukan tindakan kolostomi neonatus tindakan ini harus segera diambil jika tidak ada evakuasi mekonium.
  7. Pada stenosis yang berat perlu dilakukan dilatasi setrap hari dengan kateter uretra, dilatasi hegar, atau speculum hidung berukuran kecil selanjutnya orang tua dapat melakukan dilatasi sendiri dirumah dengan jari tangan yang
    dilakukan selama 6 bulan sampai daerah stenosis melunak dan fungsi defekasi mencapai keadaan normal.
  8. Melakukan operasi anapelasti perineum yang kemudian dilanjutkan dengan dilatasi pada anus yang baru pada kelainan tipe dua.
  9. Pada kelainan tipe tiga dilakukan pembedahan rekonstruktif melalui anoproktoplasti pada masa neonatus.


 

  1. Melakukan pembedahan rekonstruktif antara lain: operasi abdominoperineum pada usia (1 tahun) operasi anorektoplasti sagital posterior pada usia (8-12 bulan) pendekatan sakrum setelah bayi berumur (6-9 bulan).


 

  1. Penanganan tipe empat dilakukan dengan kolostomi kemudian dilanjutkan dengan operasi "abdominal pull-through" manfaat kolostomi adalah antara lain:
    1. Mengatasi obstruksi usus.
    2. Memungkinkan pembedahan rekonstruktif untuk dikerjakan dengan lapangan operasi yang bersih.
    3. Memberi kesempatan pada ahli bedah untuk melakukan pemeriksaan lengkap dalam usaha menentukan letak ujung rektum yang buntu serta menemukan kelainan bawaan yang lain.


 

Pada kasus atresia ani atau anus imperforata ini pengobatannya dilakukan dengan jalan operasi. Teknik terbaru dari operasi atresia ani ini adalah teknik Postero Sagital Ano Recto Plasty (PSARP). Teknik ini punya akurasi tinggi untuk membuka lipatan bokong pasien. Teknik ini merupakan ganti dari teknik lama, yaitu Abdomino Perineal Poli Through (APPT). Teknik lama ini punya resiko gagal tinggi karena harus membuka dinding perut.


 


 


H. Asuhan Keperawatan


PENGKAJIAN

  1. Lakukan pengajian fisik bayi baru lahir dengan perhatian khusus pada area perianal
  2. Observasi adanya pasase mekonium, perhatikan bila mekonium tampak pada orifisium yang tidak tepat
  3. Observasi feses yang seperti karbon pada bayi yang lebih besar atau anak kecil yang mempunyai riwayat kesulitan defekasi atau distensi abdomen
  4. Bantu dengan prosedur diagnostic, misal dengan endoskopi dan radiografi
  5. Kaji pemahaman keluarga tentang rencana pengobatan dan apa yang akan terjadi pada pasca operasi
  6. Kaji adanya bukti infeksi pada anak
  7. Tinjau ulang hasil tes lab untuk temuan abnormal


 


 


 

DIAGNOSA DAN PERENCANAAN


Diagnosa 1
: Resiko tinggi cedera berhubungan dengan prosedur bedah , anestesi

Tujuan :
1. Pasien menunjukkan tanda-tanda penyembuhan luka tanpa bukti infeksi luka
2. pasien tidak menunjukkan bukti-bukti komplikasi


Hasil yang diharapkan :

  1. Pasien tidak menunjukkan bukti-bukti infeksi luka.
  2. Pasien tidak menunjukkan bukti-bukti komplikasi


 

Intervensi keperawatan/Rasional:

  1. Gunakan teknik mencuci tangan yang tepat dengan kewaspadaan universal lain, terutama bila terdapat drainase luka.
  2. Lakukan perawatan luka dengan hati-hati untuk meminimalkan resiko infeksi
    Jaga agar luka bersih dan balutan utuh.
  3. Pasang balutan yang meningkatkan kelembaban penyembuhan luka (mis,balutan hidrokoloid)

* Ganti balutan bila diindikasikan, jika kotor, buang balutan yang kotor dengan hati-hati

* Lakukan perawatan luka khusus sesuai dengan ketentuan

* Bersihkan dengan preparat yang ditentukan

* Berikan larutan antimicrobial dan/atau salep sesuai instruksi untuk mencegah infeksi

* Laporkan adanya tampilan tak umum atau drainase untuk deteksi dini adanya infeksi

* Ambulansi sesuai ketentuan untuk menurunkan komplikasi yang berhubungan dengan imobilitas


 

Diagnosa 2 : Nyeri berhubungan dengan insisi bedah

Tujuan :

  1. Pasien tidak mengalami nyeri atau penurunan nyeri sampai tingkat yang dapat diterima anak.


 

Hasil yang diharapkan :

  1. Anak beristirahat tenang dan menunjukkan bukti-bukti nyeri yang minimal atau tidak ada.

Intervensi keperawatan/Rasional:

  1. Jangan menunggu sampai anak mengalami nyeri hebat untuk intervensi untuk mencegah terjadinya nyeri.
  2. Hindari mempalpasi area operasi kecuali jika diperlukan
  3. Pasang selang rectal jika diindikasikan untuk menghilangkan gas
  4. Lakukan aktivitas dan prosedur keperawatan (mis:mengganti balutan, napas dalam, ambulansi) setelah analgesia
  5. Berikan analgesic sesuai ketentuan untuk nyeri


 


 

Diagnosa 3 : Risiko kekurangan volume cairan berhubungan dengan status puasa sebelum dan atau sesudah pembedahan, kehilangan nafsu makan, muntah

Tujuan :

  1. Pasien mendapat hidrasi yang adekuat

Hasil yang diharapkan :

  1. Anak tidak menunjukkan dehidrasi

Intervensi keperawatan/Rasional:

  1. Pantau infuse IV pada kecepatan yang ditentukan untuk memastikan hidrasi yang adekuat
  2. Berikan cairan segera setelah diinstruksikan atau ditoleransi anak
  3. Dorong anak untuk minum


 


 


 

Diagnosa 4 : Resiko tinggi Cedera berhubungan dengan ketidakmampuan mengevakuasi rectum,pembedahan

Tujuan :

  1. Pasien tidak mengalami komplikasi praoperasi dan pasca operasi

Hasil yang diharapkan :

  1. Pasien tidak mengalami komplikasi praoperasi dan pasca operasi

Intervensi
keperawatan/Rasional :

  1. Hindari mengukur suhu rectal pada masa praoperasi dan pasca operasi
  2. Pertahankan penghisapan nasogatrik bila diimplementasikan
  3. Observasi pola defekasi
  4. Beri posisi miring pada bayi dengan panggul ditinggikan atau telentang dengan kaki disokong pada sudut 900 yang berfungsi:
    1. Mencegah trauma rectal
    2. untuk dekompresi abdomen
    3. mendeteksi pola normal atau abnormalitas
    4. mencegah tekanan pada jahitan perineal


 


 

Diagnosa 5 : Nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan dengan operasi.
Tujuan :

  1. Kebutuhan nutrisi terpenuhi


Hasil yang diharapkan :

  1. Pasien mengkonsumsi nutrisi yang adekuat

Intervensi keperawatan/Rasional :

  1. Pantau cairan intravena sesuai kebutuhan untuk mempertahankan hidrasi pada saat puasa.
  2. Puasakan sampai peristaltic terjadi.
  3. Beri formula atau diet sesuai usia segera setelah peristaltic usus terdeteksi
  4. Beri empeng untuk memuaskan kebutuhan menghisap non-nutrisi sampai eliminasi usus tercapai.


 


 

Diagnosa 6 : Perubahan proses keluarga berhubungan dengan perawatan anak dengan defek fisik, hospitalisasi.

Tujuan :

  1. Pasien (keluarga) disiapkan untuk perawatan di rumah


 

Hasil yang diharapkan :

  1. Keluarga menunjukkan kemampuan untuk memberikan perawatan untuk bayi di rumah


 

Intervensi keperawatan/Rasional :

  1. Ajarkan perawatan yang dibutuhkan untuk penatalaksanaan di rumah, meliputi :
    1. dilatasi rectal,bila tepat
    2. perawatan luka
    3. perawatan kolostomi
    4. latihan kebiasaan defekasi
    5. modifikasi diet.


 


 


 

Evaluasi


 

No. 

Diagnosa/masalah 

Evaluasi 

1. 

Resiko tinggi cedera berhubungan dengan prosedur bedah , anestesi 

Tidak terjadi cedera pada pasien

Kriteria:

  1. Pasien tidak menunjukkan bukti-bukti infeksi luka.
  2. Pasien tidak menunjukkan bukti-bukti komplikasi

2. 

Nyeri berhubungan dengan insisi bedah 

Tidak terdapat nyeri

Kriteria:

  1. Anak beristirahat tenang dan menunjukkan bukti-bukti nyeri yang minimal atau tidak ada 

3. 

Risiko kekurangan volume cairan berhubungan dengan status puasa sebelum dan atau sesudah pembedahan, kehilangan nafsu makan, muntah

Tidak terjadi kekurangan volume cairan

Kriteria:

  1. Anak tidak menunjukkan dehidrasi 

4. 

Resiko tinggi Cedera berhubungan dengan ketidakmampuan mengevakuasi rectum, pembedahan

Tidak terjadi cedera

Kriteria:

  1. Pasien tidak mengalami komplikasi praoperasi dan pasca operasi 

5. 

Nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan dengan operasi.

Tidak terjadi kekurangan nutrisi

Kriteria:

  1. Pasien mengkonsumsi nutrisi yang adekuat 

6. 

Perubahan proses keluarga berhubungan dengan perawatan anak dengan defek fisik, hospitalisasi.

Tidak terjadi perubahan proses keluarga

Kriteria:

  1. Keluarga menunjukkan kemampuan untuk memberikan perawatan untuk bayi di rumah


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


DAFTAR PUSTAKA


 


 

  1. Carpenito, L.J. (2001), Buku Saku Diagnosa Keperawatan, EGC, Jakarta.
  2. Doengoes, M.E. (2000), Rencana Asuhan Keperawatan:Pedoman untuk Perencanaan dan
  3. Pendokumentasian Perawatan Pasien, EGC, Jakarta.
  4. Rothrock, J.C. (2000), Perencanaan Asuhan Keperawatan Perioperatif, EGC, Jakarta.
  5. Sjamsuhidajat, R. & Jong, W.D. (2003), Buku Ajar Ilmu Bedah, Ed. Revisi, EGC, Jakarta.
  6. http://www.medic8.com/atresia atresiaani
  7. http://www.emedicine.com/ped/topic1171htm.access:october 5, 2007
  8. Farid Nurmantu (1993), Bedah anak, EGC, Jakarta




Tidak ada komentar:

Posting Komentar